Guru masih dipercayai masyarakat. |
Beberapa waktu lalu, sebuah perihal telah berkembang di masyarakat, yaitu guru tidak lagi digugu lan ditiru. Menurut filosofi Jawa, digugu lan ditiru ialah kepanjangan dari abreviasi guru. Benarkah guru tidak lagi dipercayai, dituruti, atau diindahkan? Benarkah guru tidak lagi dicontoh atau diteladani?
Baca juga: Jangan Menjadi Guru Jika Hanya Ingin Uangnya
Melihat banyaknya anak didik di sekolah negeri maupun swasta memperlihatkan bahwa guru masih dipercayai masyarakat. Melihat banyaknya anak didik yang masuk kelas sempurna waktu, berseragam, dan membawa buku-buku memperlihatkan bahwa perintah guru masih dituruti. Melihat berkurangnya anak didik yang terlambat hadir di sekolah, yang bermain game di rumah, dan yang sembarangan membuang sampah memperlihatkan bahwa nasihat guru masih diindahkan.
Suatu hari pada tahun lalu, saya menawarkan nasihat kepada beberapa murid kelas V Putri, “Loh, Nak, kok minum kopi? Nanti bisa mengganggu jam tidur, loh. Minum susu aja.” Dengan lembut, seorang murid menjawab, “Ustadzah juga minum kopi kemarin.”
Saat itu beberapa murid membawa kopi instan dari rumah dan membuatnya di sekolah ketika istirahat siang. Keesokan harinya yang dibawa dan dibentuk murid-murid tersebut ialah susu kental manis rasa cokelat. Setidaknya insiden itu memperlihatkan bahwa nasihat guru masih diindahkan, bukan? Meskipun demikian, guru harus lebih berhati-hati dalam segala perilaku.
Peribahasa berbunyi guru kencing berdiri, murid kencing berlari sebetulnya tidak hanya bermakna kelakuan anak didik selalu mencontoh guru. Makna tersebut sanggup berlaku dalam pola hubungan orang tua–anak, generasi tua–generasi muda, atau “atasan”–“bawahan”. Berkenaan itu, sudahkah guru menjadi teladan yang baik dan figur yang dibanggakan anak didiknya? Sudahkah orang bau tanah mengajarkan anak untuk menghormati guru? Sudahkah generasi bau tanah mengedepankan sikap santun kepada generasi muda? Sudahkah sopan santun yang luhur dari aneka macam media mewarnai anak dalam kehidupannya sehari-hari?
Ya, sikap anak berdasarkan kebiasaan yang tertanam padanya dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang meninggikan bunyi di hadapan guru, berani menghina guru, melaksanakan perbuatan tidak pantas, dan menyebar permusuhan merupakan akhir pola hubungan beberapa pihak. Demikianlah, perihal “guru tidak digugu lan ditiru” yang berkembang beberapa waktu kemudian memang perlu penelitian yang lebih mendalam. Permasalahan itu merupakan tanggung jawab bersama. Sudah selayaknya semua ikut terlibat dan peduli terhadap permasalahan pendidikan bangsa ini.
*) Ditulis oleh Dhaniar Retno Wulandari, S.S. Alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS). Saat ini tercatat sebagai guru SDIT Ar Risalah, Surakarta dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Advertisement