Ciptakan iklim mencar ilmu yang aman bagi perkembangan moral dan kecerdasan spiritual penerima didik. |
Setiap individu sebagai kepingan dari masyarakat diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Belajar berperilaku sesuai dengan yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan usang yang terus berlanjut hingga usia remaja. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral, sebab anak mempunyai kesempatan untuk mencar ilmu instruksi moral dan mendapat kesempatan untuk mencar ilmu bagaimana orang lain memperlihatkan penilaian. Bila penilaiannya positif maka akan memotivasi untuk menyesuaikan dengan standar nilai yang berlaku.
a. Moralitas Merupakan Hasil Belajar
Hati nurani atau skala nilai merupakan hasil dari proses mencar ilmu untuk mencar ilmu berperilaku sesuai dengan yang disetujui masyarakat. Salah satu kiprah perkembangan yang penting di masa kanak-kanak sebelum masuk sekolah mereka diharapkan sudah bisa membedakan yang baik dan salah dalam suatu situasi yang sederhana, hal itu merupakan dasar bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berahir, amat diharapkan anak sanggup berbagi skala nilai atau hati nurani untuk membimbing mereka dalam mengambil keputusan moral.
Menurut Hurlock (2013: 75) terdapat empat pokok utama dalam mempelajari sikap moral sebagai berikut ini.
1) Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan.
2) Mengembangkan hati nurani atau bunyi hati merupakan salah satu kiprah perkembangan yang penting pada selesai masa kanak-kanak. Suara hati juga dikenal sebagai “cahaya dari dalam” dan polisi internal yang mendorong anak untuk melaksanakan hal yang benar dan menghindari hukuman.
3) Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa aib jika perilakunya tidak sesuai dengan impian kelompok. Ausubel (Hurlock, 2013:78) menjelaskan rasa bersalah merupakan salah satu prosedur psikologis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Hal itu juga merupakan unsur penting bagi kelangsungan hidup budaya sebab hal itu merupakan penjaga yang paling efisien dari individu.
4) Mempunyai kesempatan berinteraksi sosial dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral.
Pada masa ini anak sudah mempertimbangkan situasi khusus mengenai moral yang baik dan salah. Menurut Piaget (Hurlock, 2003:163) pada masa ini anak mulai menggantikan moral yang kaku menjadi relativisme, misalnya anak umur 5 tahun berbohong itu buruk, anak yang lebih besar berbohong itu dibolehkan dalam situasi tertentu. Anak akan berusaha mengikuti keadaan dengan peraturan kelompok supaya diterima oleh kelompoknya. Oleh sebab itu sekolah harus memperlihatkan perhatian pada pendidikan moral mengenai konsep benar dan salah serta alasannya mengapa perbuatan itu diperbolehkan atau dilarang, supaya penerima didik memahami konsep benar dan salah secara lebih luas dan lebih abstrak. Penerapan konsep benar dan salah harus diberikan secara konsisten oleh guru dan orang tua.
Kehidupan moral tidak sanggup dipisahkan dari keyakinan beragama, sebab nilai-nilai moral bersifat tegas, pasti, tetap, serta tidak berubah sebab keadaan, daerah dan waktu. Nilai ini bersumber dari agama (Daradjat: 2010:156)
b. Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moral
Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada pikiran sehat moral dan berkembang secara sedikit demi sedikit (Santrock, 2010:118-119). Terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg ialah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari sikap yang dikendalikan secara eksternal menjadi sikap yang dikendalikan secara internal.
2. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual ialah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap sikap dan kegiatan. Menurut Zohar dan Marshal kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia, sebab paling berperan dalam kehidupan manusia. Kecerdasan spiritual merupakan aspek yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian manusia. dan merupakan landasan yang diharapkan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif (Agustian, 2001:57).
Setiap orang pernah mengalami penghayatan keagamaan bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun. Penghayatan keagamaan berdasarkan Brightman (Makmun, 2009:108) tidak hanya mengakui atas keberadaan-Nya melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eksternal (abadi) yang mengatur tata hidup insan dan alam semesta.
a. Tahap Perkembangan Penghayatan Keagamaan Usia Sekolah dan Karakteristiknya
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moraliras, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual, emosional dan konatif. Para mahir ibarat Daradjat, Starbuch, dan James (Makmun, 2009:108) sependapat secara garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif memperlihatkan karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut, 1) masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun); 2) masa anak sekolah(7-8 hingga 11-12 tahun); 3) masa pandai balig cukup akal (12-18 tahun) dibagi ke dalam dua sub tahapan, yaitu pandai balig cukup akal awal dan akhir.
Karakteristik penghayatan keagamaan pada masa anak sekolah (7-8 hingga 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain sebagi berikut ini.
1) Sikap keagamaan bersifat reseptif (menerima saja apa yang dijelaskan orangtua atau guru kepadanya) tetapi disertai pengertian
2) Pandangan dan paham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional sesuai dengan kemampuan berpikir anak yaitu dengan cara yang lebih bersahabat dengan kehidupan sehari-hari dan lebih aktual yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai perwujudan dari keberadaan dan keagungan-Nya;
3) Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan acara ritual (ibadah keagamaan) diterima sebagai keharusan moral.
b. Proses Perkembangan Kecerdasan Spiritual dan Penghayatan Keagamaan
Agama tidak sama dengan spiritualitas, namun berdasarkan Mikley (Desmita, 2014:208) agama bersama dengan eksistensial merupakan dimensi dari spiritualitas. Dimensi eksistesial berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama berfokus pada relasi seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Potensi kecerdasan spiritual berkembang sebab adanya efek interaksi dengan lingkungan sekitar hingga selesai hayatnya. Anak-anak dilahirkan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun perlakuan yang tidak sempurna dari orang tua, sekolah dan lingkungan seringkali merusak apa yang mereka miliki. Menurut Daradjat (2010:75) bahwa faktor yang mensugesti perkembangan penghayatan keagamaan ialah orangtua, guru dan dan lingkungan. Pendidikan dilingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan penghayatan keagamaan. Hubungan yang serasi dengan orangtua, disayang, dlindungi, dan mendapat perlakuan baik, maka anak akan gampang mendapatkan kebiasaan orangtua, dan selanjutnya akan cenderung kepada agama. Sebaliknya relasi dengan orangtua yang kurang harmonis, penuh tekanan, kecemasan, ketakutan, menjadikan sulitnya perkembangan agama pada anak.
Pendidikan anak di sekolah, khususnya pendidikan agama di SD merupakan dasar bagi sikap jiwa agama. Apabila guru memberi sikap positif terhadap agama maka akan kuat dalam membentuk pribadi dan adab yang baik. Pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat memegang peranan penting dalam memelihara dan berbagi potensi kecerdasan spiritual. Terpeliharanya kecerdasan spiritual akan mengoptimalkan IQ dan EQ.
Daradjat (2010:90) menyatakan penghayatan keagamaan berkaitan dengan kematangan intelektual dan sanggup dikembangkan melalui adaptasi juga memperlihatkan pemahaman agama sesuai dengan tahap kemampuan berpikirnya.
3. Implementasi dalam Pembelajaran
a. Jadilah panutan dengan menampilkan sikap dan sikap yang mencerminkan kepribadian dan moral yang baik, serta cerdas secara spiritual,
b. Ciptakan iklim mencar ilmu yang aman bagi perkembangan moral dan kecerdasan spiritual penerima didik. Selain pandai guru juga harus bersikap bijaksana, sabar, hangat dan tulus dalam melaksanakan tugas, dan bersikap positif terhadap pekerjaan. Sikap yang demokratis dan perlakuan yang baik dari guru akan membangun relasi baik dengan penerima didik, sehingga iklim mencar ilmu yang aman bagi perkembangan penerima didik akan terwujud.
C. Pahami ada keragaman dalam sikap moral dan kecerdasan spiritual sebab tidak semua penerima didik mempunyai lingkungan keluarga yang menjunjung moral dan spiritual yang tinggi serta keluarga yang harmonis. Oleh sebab itu, guru harus bersikap mendapatkan semua penerima didik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jangan bersikap bergairah atau sinis kepada mereka yang belum menampilkan moral dan kecerdasan spiritual sesuai yang diharapkan, namun bersikap bijak dan tetap membimbing serta mendorongnya dengan sabar.
d. Rancang pembelajaran dengan memasukan aspek moral atau abjad dan spiritual dalam pembelajaran.
e. Kembangkan sikap moral dan spiritual melalui adaptasi yang disertai pemahaman dan disiplin yang disertai konsekuensi yang mendidik. Buatlah norma-norma sikap moral/spiritual yang harus dilakukan yaitu jujur, empati, taat aturan, tanggung jawab, menghargai orang lain, menyayangi orang lain dsb.
f. Biasakan berdoa sebelum dan setelah mencar ilmu dan dorong penerima didik untuk rajin beribadah serta libatkan mereka dalam acara keagamaan dan sosial.
g. Buat suatu kiprah kelompok/kelas yang sanggup meningkatkan sikap altruisme (membantu orang lain dengan ikhlas). Beri mereka kebebasan untuk menentukan acara yang sanggup membantu orang lain, mungkin membantu sobat yang kesulitan belajar, membersihkan halaman sekolah, dsb (Santrock, 2007:124)
h. Bekerja sama dengan rekan guru, terutama guru agama serta orangtua untuk membantu meningkatkan sikap moral dan kecerdasan spiritual.
Advertisement