Guru profesional tidak pernah lupa bahwa pengalaman masa kemudian kuat terhadap minat berguru siswa. |
Bagi seorang anak yang mempunyai IQ di atas 100, pengalaman jelek masa kemudian bisa jadi pemacu minat untuk berguru lebih intensif dengan menghindari kesalahan yang pernah dilakukan, tetapi bagi anak yang mempunyai IQ semakin kurang dari 100 kegagalan dianggap sebagai suatu petaka yang menjadikannya trauma dan selalu terbayang kegagalan yang pernah dialami. Misal, seorang anak yang gres berguru berdiri ternyata ia jatuh dan mengakibatkan anggota badannya terasa sakit alasannya membentur dinding, bisa jadi anak tersebut bangun lagi sesudah rasa sakitnya hilang, atau menjadikannya enggan berlatih berdiri lagi alasannya apa yang dilakukan dianggap kesalahan yang tidak akan diulang. Maka selaku orang berakal balig cukup akal yang sedang mengasuh anak menyerupai itu harus berhati-hati dalam menenangkan anak dan berusaha memotivasi mereka supaya mau berlatih lagi.
Memasuki usia 2-5 tahun yaitu masa perkembangan ingatan yang luar biasa pesatnya. Pengalaman yang bisa kuat terhadap seorang anak tidak hanya pengalaman pribadi saja, tetapi pengalaman orang lain yang pernah dilihat atau didengar juga menjadi catatan memerinya, alasannya mereka telah bisa berkomunikasi secara verbal, non verbal, maupun kontekstual. Hal ini bisa diamati ketika mereka mendengar cerita/larangan orang renta sering mereka memberikan kepada orang lain bahwa cerita/larangan tersebut menjadi sesuatu yang harus dihindari supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, atau mungkin mereka suka menirukan ucapan atau tingkah laris orang atau binatang yang pernah dilihat atau didengarnya. Arno F. Wittig (Psychology of Learning 1981) : Perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam tingkah laris suatu organisme sebagai hasil belajar. Pada usia ini pengasuh anak harus lebih berhati-hati alasannya mereka mengalami fese imitasi atau fase menentang pertama yang kadang dianggap bandel oleh orang dewasa. Maka segala bimbingan, arahan, nasihat yang diberikan harus benar, jujur, dan memotivasi mereka ke arah kebaikan dan perkembangan mental anak asuhannya.
Saat masuk sekolah dasar pengetahuan siswa sebelumnya sanggup membantu atau menghalangi belajar. Siswa tiba ke sekolah dengan pengetahuan, keyakinan, dan sikap yang diperoleh dari teladan kehidupan lain dalam kehidupan sehari-hari/bermain di TK/PUD. Sebagai siswa mereka membawa pengetahuan tersebut untuk berguru di kelas yang dipola dengan banyak sekali aktivitas kegiatan. James Patrick Chaplin ( Dictionary of Psychology 1985 ): Belajar dibatasi dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berguru yaitu perolehan perubahan tingkah laris yang relatif menetap sebagai akhir latihan dan pengalaman. Rumusan kedua berguru ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akhir adanya latihan khusus. Hal itu menghipnotis bagaimana mereka dalam mendapatkan dan menginterpretasikan apa yang mereka pelajari. Jika pengetahuan siswa sebelumnya telah kuat dan akurat ketika diaktifkan pada ketika yang tepat, mereka menyediakan dasar yang kuat untuk membangun pengetahuan baru, namun ketika pengetahuan tersebut (inert) lamban, tidak cukup untuk melaksanakan tugas, keaktifan tidak tepat, atau tidak akurat, pengalaman tersbut justru mengganggu atau menghambat pembelajaran baru.
Bagaimana siswa mengatur imbas pengetahuan? Bagaimana mereka berguru dan menerapkan apa yang mereka ketahui? Siswa secara alami membuat koneksi antar banyak sekali bagian pengetahuan. Ketika koneksi yang membentuk struktur pengetahuan yang akurat dan bermakna terorganisir, siswa lebih bisa mengambil dan menerapkan pengetahuan mereka secara efektif dan efisien. Sebaliknya, ketika pengetahuan terhubung dengan cara yang tidak akurat atau acak, siswa sanggup gagal untuk mengambil atau menerapkannya dengan tepat.
Motivasi berguru siswa menentukan, mengarahkan, dan memelihara apa yang mereka lakukan untuk belajar. Sebagai siswa masuk sekolah dan mereka memperoleh otonomi yang lebih besar atas apa, kapan, dan bagaimana mereka berguru dan terus belajar. Motivasi memainkan kiprah penting dalam membimbing arah, intensitas, ketekunan, dan kualitas sikap berguru di mana mereka terlibat. Ketika siswa menemukan nilai positif dalam tujuan pembelajaran atau dalam suatu kegiatan, mereka berharap untuk berhasil mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan dan mencicipi pertolongan dari lingkungan mereka, maka mereka cenderung merasa sangat termotivasi untuk berguru lebih baik lagi.
Untuk menyebarkan penguasaan materi pelajaran, siswa harus memperoleh keterampilan komponen, praktek mengintegrasikan, dan mereka tahu kapan harus menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Siswa harus menyebarkan diiri, tidak hanya keterampilan komponen dan pengetahuan yang diharapkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang kompleks, namun mereka juga harus berlatih menggabungkan dan mengintegrasikan untuk mengem-bangkan kefasihan lebih besar dan (automatically) dengan sendirinya. Pengaruh dari pengalaman tersebut siswa harus berguru kapan dan bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan mereka belajar. Menangkap tanda-tanda jiwa tersebut seorang guru sebagai pembimbing belajarharus memahami bahwa hal ini menjadi sangat penting ketika menyebarkan kesadaran dari unsur-unsur penguasaan mereka sehingga sanggup membantu para siswa bisa berguru lebih efektif.
Praktek yang sanggup kita arahkan pada pencapaian tujuan sanggup ditambah dengan umpan balik yang ditargetkan meningkatkan kualitas berguru siswa. Belajar dan kinerja terbaik siswa kita pupuk ketika mereka terlibat dalam praktek yang berfokus pada tujuan atau kriteria tertentu, menargetkan tingkat yang sempurna dari tantangan, dan kuantitas yang cukup dan frekuensi untuk memenuhi kriteria kinerja. Kegiatan praktek harus dibarengi dengan umpan balik yang secara eksplisit berkomunikasi wacana beberapa aspek dari siswa. Kinerja relatif terhadap kriteria sasaran khusus menyediakan gosip untuk membantu kemajuan siswa dalam memenuhi kriteria tersebut, dan jikalau diberikan pada waktu dan frekuensi yang memungkinkan maka akan menjadi sangat bermanfaat untuk meningkatkan proses dan hasil belajar.
Peningkatan ketika siswa berinteraksi dengan iklim sosial, emosional, dan intelektual sangat menghipnotis proses dan hasil berguru mereka. Siswa selain makhluk intelektual mereka juga makhluk sosial dan emosional. Mereka masih menyebarkan banyak sekali keterampilan intelektual, sosial, dan emosional, sementara kita tidak bisa mengendalikan proses perkembangan, melainkan hanya bisa membimbing, mengarahkan, dan melatih. Kita sanggup membentuk aspek intelektual, sosial, emosional, dan fisik iklim kelas dengan cara menyesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka. Banyak penelitian telah memperlihatkan bahwa iklim yang dibuat/dipola/diprogram mempunyai implikasi bagi siswa yang belajar. Iklim negatif sanggup menghambat pembelajaran dan kinerja, tetapi iklim positif sanggup memperlihatkan energi positif berguru siswa. Tugas guru di sini yaitu membuat iklim yang bisa menghambat energi negatif dan meningkatkan energi positif.
Untuk menjadi pebelajar mandiri, siswa harus berguru untuk memantau dan menyesuaikan pendekatan mereka dalam belajar. Peserta didik sanggup terlibat pribadi dalam banyak sekali proses metakognitif untuk memonitor dan mengontrol. Mereka belajar-menilai kiprah di tangan, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, merencanakan pendekatan mereka, menerapkan dan memantau banyak sekali strategi, dan merenungkan sejauh mana pendekatan mereka ketika ini sebagai upaya peningkatan kinerja. Mungkin hal ini di lingkungan sekolah kita siswa cenderung untuk tidak terlibat dalam proses ini secara alami alasannya hal itu belu dilatih dan dibiasakan. Ketika siswa menyebarkan keterampilan untuk terlibat proses ini, secara pribadi mereka mendapatkan kebiasaan intelektual yang tidak hanya meningkatkan kinerja mereka, tetapi juga efektivitas mereka sebagai akseptor didik. Ingat bahwa bekerjsama kehidupan ini yaitu kebiasaan (life is habit).
DAFTAR RUJUKAN
•Hidi, S. & Renninger K.A. (2004). Interest, a motivational varmerekable that combines affective and cognitive functioning. In D. Y. Dai & R. J. Sternberg (Eds.), Motivation, emotion, and cognition: Integrative perspectives on intellectual functioning and development (pp. 89-115). Mahwah, NJ: Erlbaum
•Walton, G. M., & Cohen, G. L. (2007). A question of belonging: race, socmerekal fit, and achievement. Journal of Personality and Socmerekal Psychology, 92 (1), 82-96.
•Bahri Djamarah, Syaiful. dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
*) Ditulis oleh WIDODO SANTOSO, S.Pd.M.Pd. Kepala SDN 4 Mangkujayan Kabupaten Ponorogo, Jl. Jawa 45 Ponorogo
Advertisement